Pada tahun 1969 Sukarno di tengah sakit ginjalnya yang sangat parah menghadiri pernikahan anaknya Rahmawati Sukarnoputeri dengan Martomo Pariatman Marzuki atau dikenal dengan panggilan Tommy.
Pernikahan itu sangat jauh dari kesan kemewahan, dalam kondisi yang amat prihatin. Pernikahan cukup berlangsung di rumah Ibu Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran, Jakarta Selatan. turut Hadir pada pernikahan tersebut salah satu Proklamator, Bung Hatta dan kemudian saat memberi selamat kepada Rahma, tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat ada beberapa tentara masuk. Di antara kerumunan tentara ada sosok Bung Karno yang memakai jas hitam agak kedodoran dengan muka bengkak-bengkak datang ke pernikahan anaknya itu.
Ketika melihat kehadiran Bung Karno di sana, semua mata tertuju ke pintu. Beberapa orang meledak tangisnya termasuk Guntur. Hatta mengusap air mata dan tersedu-sedu melihat Sukarno. Fatmawati langsung berlari ke arah Sukarno dan menciumi suaminya itu. Sukarno berusaha tertawa tapi jelas ia sudah amat kepayahan.
Sementara itu di luar rumah berita kedatangan Sukarno mulai diketahui banyak orang, dari tukang becak sampai tukang dagangan berlarian ke depan pagar rumah Sriwijaya mereka berteriak-teriak : “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno” melihat kondisi seperti itu, komandan tentara kaget dan memerintahkan agar Sukarno tidak terlalu lama di rumah Sriwijaya, ia harus segera pulang ke Wisma Yaso.
Inilah, satu-satunya pernikahan Bung Karno untuk anaknya yang ia hadiri. Sebuah tragedi memilukan dari seorang yang mendirikan bangsa ini. Seorang yang sepanjang hidupnya bekerja untuk Indonesia raya. Seorang yang membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan, tapi mengalami nasib yang sangat tragis, hanya untuk menghadiri pernikahan anaknya saja begitu sulit dan dijaga ketat bagaikan seorang pesakitan.
Saat itu Bung Karno memang sedang di asingkan dari dunia luar oleh Rezim Orde Baru, Rezim begitu khawatir terhadap sosok Soekarno yang masih dicintai oleh rakyatnya, tindakan yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap Soekarno memang sangat keterlaluan diluar batas rasa kemanusiaan, hal ini juga tercermin dari Penuturan salah satu anak Bung Karno, Sukmawati, yang mengatakan bahwa ia masih menyimpan memori pahit tentang perlakuan yang diterima ayahnya. Terutama saat-saat Bung Karno, ayahnya menderita sakit, menjelang ajal.
Menurut Sukma, salah satu yang membedakannya adalah fasilitas yang diberikan negara atau pemerintah. Saat Bung Karno sakit dan dirawat di rumah, bukan hanya fasilitas medis yang tidak memadai, tim medis dan dokter yang merawatnya pun tidak bisa disebut sebagai dokter ahli. Salah seorang yang ditugaskan merawat Bung Karno, menurut Sukma, berstatus dokter hewan ! Bandingkan dengan tim dokter yang merawat Pak Harto. Tim medis yang merawatnya, berjumlah 40 orang dengan status Tim Dokter Kepresidenan.
Bung Karno Tak Bersalah
Kalau kita membaca Buku “The Indonesian Tragedy” yaitu buku yang dilarang beredar selama 30 tahun di Indonesia. buku karya wartawan Brian may itu tercatat sebagai salah satu penerbitan asing yang membuka borok-borok Pak Harto.
Apa yang diungkapkan wartawan Amerika yang pernah menjadi koresponden AFP (Agence France Press) di Jakarta itu cukup kontroversial. Setidaknya sebagai pembanding terhadap fakta sejarah tentang peristiwa kejatuhan Bung Karno.
Jika buku-buku sejarah yang ditulis di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Brigjen Nugroho Notosusanto mengedepankan peran-peran positif Pak Harto, wartawan Barat itu seperti membalikkannya. Karena faktanya sekarang ini terbukti bahwa sejarah memang telah diputar balikkan oleh Rezim Soeharto.
(agussutondo)
0 komentar:
Posting Komentar