Pohon
sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada
tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah
menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu
adalah Pancasila.
Pohon sukun itu kemudian diberi
nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri
di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores,
Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk
ideologi Pancasila.
Akan tetapi, kita belum tahu
seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila.
Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang
penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di
Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut
sebagai Lima Butir Mutiara.
Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan
aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon
kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar
falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan,
bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi
kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang
indah.”
Dengan demikian, banyak yang
menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah
itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan
tersebut.
BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29
April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya
pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut
Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama
persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5
azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang
menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern
Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu
Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman
Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah
seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila
dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa
ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila
bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan
dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang
anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila versi Bung Karno, yaitu Peri
Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme
kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta
memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena
menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah
dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai
penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh
sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak
benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta,
Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu,
kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato
Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu
juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata
Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang
kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan
anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam
perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni
1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato
itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah
panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato
Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin,
Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar
Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah
susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama.
Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada
Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat
penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan:
pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan
syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan
UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip
dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”,
Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan
pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal
31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang
pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup
penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu,
orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit),
Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn.
Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130
menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit.
Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan
pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan,
juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945
itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi
kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari
yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada
tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang
disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni
1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui
Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5
Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan
sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal
22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang
bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi
Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam
di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat
menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai
penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu
Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi
(penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun
1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide
tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah
Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)”
dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti
lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara
negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup,
(2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5)
larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua:
“Yatnanggegwani Pancaҫila
Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu,
begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan
dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang
menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila
di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar
negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi
juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno sendiri menolak disebut
sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada
dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya
menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi
kebudayaan asing.
* http://m.berdikarionline.com/lipsus/20120530/asal-usul-pancasila.html
0 komentar:
Posting Komentar