Jumat, 14 Desember 2012

Soe Hok Gie ; Legenda Aktivis Idealis Indonesia

0 komentar

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda"

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Kata Kata Soe Hok Gie
  • Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
  • Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
  • Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
  • Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
  • Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
  • Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
  • To be a human is to be destroyed.
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
  • I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
  • Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Sumber : Biografitokohdunia.
Read full post »

Selasa, 16 Oktober 2012

Ditemani Seekor Anjing Bocah Ini Berjuang Untuk Hidup

0 komentar


Mungkin ada yang pernah nonton film ” I am The Legend” , film yang dibintangi om will smith itu bercerita tentang seorang manusia yang hidup sendiri di dunia dengan ditemani sahabat sejatinya seekor Anjing. kurang lebih hal itu sama dengan dirasakan oleh bocah kecil bernama Ah Long yang hidup sendiri diprovinsi Guangxi, China……bayangkan seorang Bocah!!!!
Namanya Ah Long , umurnya baru 6 tahun , kedua orang tuanya telah meninggal dikarenakan mengidap penyakit AIDS. Orang orang disekitarnya mengucilkannya karena Ah Long  dilahirkan dengan virus HIV yang mengalir di darahnya.
Ah Long harus menjaga dirinya sendiri karena kebanyakan orang takut untuk mendekat, Satu-satunya sahabat sejatinya adalah anjingnya yang selalu setia menemani disampingnya.
Karena Penyakitnya orang orang disekitarnya tidak menghiraukannya. Sekolah tidak mau menerimanya, bahkan para orang tua murid sepakat akan mencelakainya apabila Ah long muncul kesekolah dan bermain dengan anak anaknya. Bahkan Dokterpun enggan mengobatinya apabila Ah long Kecil sakit.
Satu satunya saudara yang dimiliki Ah long adalah neneknya yang berumur 84 Tahun yang enggan untuk tinggal bersama cucunya. Mungkin tiap malam dia berdoa berkeluh kesah pada Sang Empunya kehidupan agar suatu kelak hidupnya bisa diterima masyarakat dan doanya pun terjawab dengan datangnya seorang wartawan kemudian mempublikasikan kehidupannya akhirnya pemerintah mulai peduli pada bocah malang ini.
rumah tempat tinggalnya
12980343452082305919
menanam sayuran disekitar rumahnya
12980340781198062291
memasak sendiri
12980341321587202936
merenung
12980345691256140573
persiapan memasak
12980346291302915225
belajar
12980346701095984589
mandi sendiri
1298034322766849036
sahabat setia satu satunya
1298034778268576239
sahabat sejati
1298034837883357070
bersama neneknya
12980344901832260109
mencari kayu untuk kayu bakar
12980349622008222266
Bermain sendirian
12980350322113790479
Main Bola
1298035069250026790
The Legend
12980347351145826579
masih tidak bersyukurkah kamu dengan apa yang kamu miliki sekarang , bersyukurlah masih memiliki keluarga , bersyukurlah masih mempunyai teman , bersyukurlah..Ah Long kisahmu sangat menginspirasi mengenai arti kehidupan, percayalah siapapun yang membaca tulisan ini adalah temanmu yang selalu mendukung melalui untaian kata-kata pada Sang Khalik.
Read full post »

Minggu, 14 Oktober 2012

Abadinya Sang Putra Fajar

0 komentar

Mulai pelosok desa, kota hingga seantero dunia Siapa yang tak kenal dengan kebesaran nama Soekarno. Dialah presiden pertama sekaligus Proklamator Indonesia dalam membawa bangsa ini bebas dari penjajahan kolonial pada masa itu. Bicara tentang jejak Soekarno cukup banyak, salah satunya adalah yang ada di Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Soekarno lahir 06 Juni 1901 di Surabaya dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo (seorang guru) dan Ida Ayu Nyoman Rai (bangsawan Bali). Awalnya Soekarno bernama lengkap Koesnososro Soekarno, tetapi karena sering sakit waktu kecil, kemudian dipanggil Soekarno saja. Pada masa kecil, kemudian Soekarno dibesarkan orang tuanya di Kota Blitar, tepatnya di Kelurahan Gebang, tepatnya di Jalan Sultan Agung 56.
Rumah masa kecil Soekarno ini dapat kita lihat berdiri dengan gaya arsitektural kolonial, dengan hiasan warna putih hijau pada dinding dan pilar-pilarnya itu kini dikelola oleh ahli waris keluarga Soekarno. Ruang dalam yang ada di Istana Gebang terdiri atas lima kamar tidur, enam kamar mandi, satu dapur, dua garasi mobil, satu gudang, serta ruang khusus untuk balai seni. Mengikuti langkah kaki masuk ke ruang tamu rumah ini kita akan terbawa dalam atmosfer masa lalu Soekarno semasa kecil. Terlihat dari dengan adanya meja dan kursi rotan, serta mata melempar pandang di dinding ruangan dapat menangkap beragam koleksi lukisan dan foto-foto Soekarno dan keluarga besarnya.


Tak berhenti di situ, masih banyak koleksi yang terdokumen di dalam Istana Gebang. Seperti beberapa benda pusaka milik Sang Putra Fajar dan sebuah Mobil Mercedes Benz 190 warna hitam di garasi. Konon, mobil ini dulu sering digunakan Soekarno saat tinggal di Blitar. Juga terdapat kamar tidur Soekarno (Bung Karno).
Tapak tilas Soekarno tidak berhenti di Istana Gebang saja sebagai kediamannya saat kecil. Lanjut menuju ke 1 kilometer arah utara dari Istana Gebang, dapat mengunjungi Makam Presiden pertama RI ini. Yakni berada di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar.
Makam ini didominan oleh arsitektur Joglo. Bergaya Jawa Timuran dan dikombinasi dengan gerbang Candi Bentar.


Selain bangunan utama yang berupa cungkup makam Bung Karno, kompleks makam ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan pendukung, yakni Gapura Agung, Masjid dan Bangsal; yang dapat membuat para pengunjung betah untuk berziarah di lokasi ini. Ada juga bangunan pelengkap yang terdiri rumah pengurus makam, tempat peristirahatan umum, halaman parkir, dan pertamanan. Dari informasi pengelola makam tiap tahun pengunjung yang datang jumlahnya dapat mencapai ribuan, baik itu wisatawan dalam negeri maupun wisatawan luar negeri.
Kebesaran nama Soekarno telah mengundang banyak turis untuk berziarah ke makam ini. Mereka merasa kagum dengan kebesaran presiden Soekarno, sehingga mereka berdo’a di makam ini untuk mendapatkan berkah. Selain kita berziarah, pengunjung juga dapat menggali wawasan sejarah seputar sosok Soekarno. Yakni dengan adanya sebuah perpustakaan Soekarno lengkap dengan mini museum. Komplek ini buka setiap hari mulai pukul 07.00 sampai 17.00 WIB dan terbuka untuk umum.
Beberapa buku koleksi Soekarno yang langkah juga tersedia, namun, buku-buku tersebut hanya boleh dibaca ditempat. “Koleksi perpustakaan saat ini sudah mencapai 120 ribu eksemplar yang terdiri dari buku umum, referensi dan termasuk koleksi Soekarno,” ujar Aji Subekti salah satu petugas UPTD Perpustakaan Bung Karno.



Untuk museumnya, diapajang beberapa peninggalan Soekarno. Seperti foto-foto keluarga Bung Karno dan foto perjalanannya ketika menjadi Presiden, ada juga jas yang biasa digunakan saat melawat di dalam maupun luar negeri, dan bendera merah-putih pertama buatan Fatmawati (istri Bung Karno) yang dikibarkan di Rengasdengklok pada 16 agustus 1945 silam.
Makam Soekarno ramai dikunjungi ketika peringatan haul (peringatan wafatnya) Bung Karno yang biasanya digelar mulai 19 sampai 21 Juni. Pada momentum wafatnya Soekarno ini juga ditandai dengan berbagai pertunjukan kesenian yang biasanya diselenggarakan di Istana Gebang.


Dan, hingga kini sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno telah membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.

Read full post »

Pernikahan Yang Memilukan Dari Anak Sang Putra Fajar

0 komentar
Sering kita melihat sebuah pesta pernikahan anak-anak pejabat masa kini yang selalu diselenggarakan dengan pesta pernikahan yang sangat mewah. Namun kalau kita membayangkan pernikahan salah satu anak Proklamator kita yaitu pernikahan Rahmawati Soekarno Putri, anak dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, terlihat sangat kontradiksi dengan kondisi pernikahan anak-anak pejabat sekarang ini.

Pada tahun 1969 Sukarno di tengah sakit ginjalnya yang sangat parah menghadiri pernikahan anaknya Rahmawati Sukarnoputeri dengan Martomo Pariatman Marzuki atau dikenal dengan panggilan Tommy.

Pernikahan itu sangat jauh dari kesan kemewahan, dalam kondisi yang amat prihatin. Pernikahan cukup berlangsung di rumah Ibu Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran, Jakarta Selatan. turut Hadir pada pernikahan tersebut salah satu Proklamator, Bung Hatta dan kemudian saat memberi selamat kepada Rahma, tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat ada beberapa tentara masuk. Di antara kerumunan tentara ada sosok Bung Karno yang memakai jas hitam agak kedodoran dengan muka bengkak-bengkak datang ke pernikahan anaknya itu.

Ketika melihat kehadiran Bung Karno di sana, semua mata tertuju ke pintu. Beberapa orang meledak tangisnya termasuk Guntur. Hatta mengusap air mata dan tersedu-sedu melihat Sukarno. Fatmawati langsung berlari ke arah Sukarno dan menciumi suaminya itu. Sukarno berusaha tertawa tapi jelas ia sudah amat kepayahan.

Sementara itu di luar rumah berita kedatangan Sukarno mulai diketahui banyak orang, dari tukang becak sampai tukang dagangan berlarian ke depan pagar rumah Sriwijaya mereka berteriak-teriak : “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno” melihat kondisi seperti itu, komandan tentara kaget dan memerintahkan agar Sukarno tidak terlalu lama di rumah Sriwijaya, ia harus segera pulang ke Wisma Yaso.

Inilah, satu-satunya pernikahan Bung Karno untuk anaknya yang ia hadiri. Sebuah tragedi memilukan dari seorang yang mendirikan bangsa ini. Seorang yang sepanjang hidupnya bekerja untuk Indonesia raya. Seorang yang membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan, tapi mengalami nasib yang sangat tragis, hanya untuk menghadiri pernikahan anaknya saja begitu sulit dan dijaga ketat bagaikan seorang pesakitan.

Saat itu Bung Karno memang sedang di asingkan dari dunia luar oleh Rezim Orde Baru, Rezim begitu khawatir terhadap sosok Soekarno yang masih dicintai oleh rakyatnya, tindakan yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap Soekarno memang sangat keterlaluan diluar batas rasa kemanusiaan, hal ini juga tercermin dari Penuturan salah satu anak Bung Karno, Sukmawati, yang mengatakan bahwa ia masih menyimpan memori pahit tentang perlakuan yang diterima ayahnya. Terutama saat-saat Bung Karno, ayahnya menderita sakit, menjelang ajal.

Menurut Sukma, salah satu yang membedakannya adalah fasilitas yang diberikan negara atau pemerintah. Saat Bung Karno sakit dan dirawat di rumah, bukan hanya fasilitas medis yang tidak memadai, tim medis dan dokter yang merawatnya pun tidak bisa disebut sebagai dokter ahli. Salah seorang yang ditugaskan merawat Bung Karno, menurut Sukma, berstatus dokter hewan ! Bandingkan dengan tim dokter yang merawat Pak Harto. Tim medis yang merawatnya, berjumlah 40 orang dengan status Tim Dokter Kepresidenan.

Bung Karno Tak Bersalah

Kalau kita membaca Buku “The Indonesian Tragedy” yaitu buku yang dilarang beredar selama 30 tahun di Indonesia. buku karya wartawan Brian may itu tercatat sebagai salah satu penerbitan asing yang membuka borok-borok Pak Harto.

Apa yang diungkapkan wartawan Amerika yang pernah menjadi koresponden AFP (Agence France Press) di Jakarta itu cukup kontroversial. Setidaknya sebagai pembanding terhadap fakta sejarah tentang peristiwa kejatuhan Bung Karno.

Jika buku-buku sejarah yang ditulis di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Brigjen Nugroho Notosusanto mengedepankan peran-peran positif Pak Harto, wartawan Barat itu seperti membalikkannya. Karena faktanya sekarang ini terbukti bahwa sejarah memang telah diputar balikkan oleh Rezim Soeharto.

(agussutondo)
Read full post »

Kisah Jenderal yang setia pada Bung Karno, berani melawan Soeharto.

1 komentar


Pada akhirnya setiap orang memang harus mati, banyak orang meninggal oleh kematian secara alami, hanya sedikit yang dikarenakan oleh kecelakaan, ada beberapa orang tidak mati secara alami tetapi dibunuh oleh pembunuh, Beberapa pembunuh tertangkap setelah melakukan pembunuhan, tetapi ada juga pembunuh yang belum tertangkap. Karena itu saya akan menceritakan salah satu yang saya duga adalah bentuk pembunuhan yang misteri dan belum terpecahkan sampai sekarang ini.

Siapa yang tidak kenal Letnan Jenderal KKO Hartono, beliau adalah Perwira tinggi yang berani terang-terangan mendukung Bung Karno. Ucapannya yang terkenal adalah “Putih Kata Bung Karno, Putih Kata KKO, Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO” ini adalah ucapan kesetiaan prajurit komando pada pimpinan. Letnan Jenderal KKO Hartono sangat terkenal sebagai loyalis Soekarno, bahkan pernah menyediakan diri dan pasukannya untuk menghadapi pasukan Soeharto, namun dicegah Soekarno. Tak lama setelah itu ada demo di jalan yang dilakukan prajurit KKO di Surabaya. Slogan terkenal Demo itu adalah “Pejah Gesang Melu Bung Karno” Hidup Mati Ikut Bung Karno. Kejadian itu di tahun 1966.
Hal ini jelas membuat khawatir Suharto, maka Suharto memerintahkan Jenderal Sumitro untuk ke Surabaya yang tujuan utamanya adalah memapankan kekuasaan Suharto. Di Surabaya Soemitro mengumpulkan semua mantan Panglima Brawijaya, kecuali Panglima Brawijaya yang pertama Imam Soedja’i yang emang udah meninggal di tahun 1953. Disana Sumitro juga mengeliminir perbedaan antara Resimen Ronggolawe dengan Resimen Narotama yang selalu menjadi rival di dalam tubuh Brawijaya. Sumitro juga melancarkan serangan ke Jenderal Hartono, yang kemudian akhirnya Letnan Jenderal KKO Hartono di dubeskan ke Pyongyang tahun 1968. Saat menjadi Dubes Korea di Pyongyang ia dipanggil di Jakarta pada tahun 1971 dan kemudian dikabarkan bunuh diri dengan cara menembakkan pistol di belakang kepalanya
Tapi apa benar kabar Letjen KKO Bunuh diri ? Mengapa Pemerintah Orde baru tidak mau berterus terang selain hanya mengatakan bahwa Letnan Jenderal KKO Hartono mati bunuh diri. Seandainya Pemerintah Orde Baru mau berterus terang lewat berbagai argumentasi ilmiah, mungkin kematian Letnan Jenderal KKO (sekarang Marinir) Hartono yang sudah terjadi 41 tahun lalu tidak lagi menjadi bahan pembicaraan Negatif di kalangan rekan sejawatnya. Korban yang dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan pada tanggal 7 Januari 1971 diduga meninggal di kediamannya jalan Prof Dr Soepomo akibat pembunuhan oleh orang tak dikenal.
Terkait kematiannya banyak yang meragukan termasuk banyak berita yang mengabarkan tentang keraguan Letjen KKO Hartono bunuh diri. Beberapa sahabat korban belum yakin benar rekannya itu meninggal akibat bunuh diri adalah Letjen KKO (Pur) Ali Sadikin Almarhum, mantan Gubernur DKI Jaya dan Laksamana Madya Rachmat Sumengkar, mantan Wakil KSAL. Kedua tokoh TNI AL ini menyebutkan, sulit untuk mengatakan Letjen KKO Hartono bunuh diri hanya dengan data yang ditemukan di kediaman korban pada waktu itu. Disebutkan, dari data yang mereka miliki terlihat korban bukan tipe manusia yang mudah putus asa. Apalagi mau bunuh diri hanya karena ada dugaan ia putus asa atas hasil pekerjaannya yang tidak berhasil sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Korea Utara. ” Saya masih ragu jika Letjen Hartono disebut sebagai bunuh diri”, ujar Rachmat Sumengkar.
Ditambah lagi dengan data yang menyebutkan, korban tidak divisum oleh dokter Rumah Sakit Angkatan Laut ataupun RSCM yang waktu itu dinilai netral setelah ditemukan meninggal di rumahnya sekitar pukul 05.30. Tapi oleh petugas rezim Orde Baru, mayat korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat. Baru setelah itu mayatnya disemayamkan di rumahnya untuk kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan untuk dimakamkan secara militer sebagai kesuma bangsa dengan inspektur upacara KSAL Laksamana Madya Soedomo.
Peristiwa kematian Letjen KKO Hartono harus ditelusuri kembali oleh pemerintah agar masalahnya bisa jelas dan tidak menjadi bahan pertanyaan generasi muda dimasa mendatang.  Jika kasus kematian korban tetap dinyatakan sebagai bunuh diri hanya dengan data yang ada dari rezim Orde Baru dikhawatirkan misteri ini akan terus berlangsung dan generasi muda mendatang mendapatkan sejarah bahwa seorang tokoh Marinir telah meninggal secara misterius terkait dengan ucapannya yang pernah menggegerkan masyarakat yang menyebutkan, “Putih kata Presiden Sukarno, putih pula kata KKO. Hitam kata Presiden Sukarno, hitam pula kata KKO”. Jikahal ini ada kaitannya, perlu ada penelusuran agar sejarahnya bisa diluruskan.
Selamat jalan Jenderal Hartono, jasa-jasamu kepada ibu pertiwi tetap abadi....

Read full post »

Bung Karno Menghentak PBB

1 komentar


Selalu tampil penuh dengan percaya diri, itulah yang bisa kita gambarkan tentang figur presiden Soekarno ini. Beliau selalu tampil memukau dan seakan-akan memberikan kesan positif di mata siapa saja yang melihatnya. Tidak cuman penampilan fisiknya yang memiliki daya tarik kuat, namun presiden Soekarno juga memiliki kemampuan dalam berpidato. Kemampuan beliau dalam berpidato tersebut telah terbukti ketika beliau masih aktif dalam pergerakkan untuk memerdekakan Indonesia. Tidak bisa dilupakan ketika beliau mampu membakar semangat para pejuang dan pemuda dengan orasi atau pidatonya yang selalu berapi-api.
Ternyata kemahirannya dalam berpidato tersebut merupakan bakat alami yang tidak bisa luntur begitu saja, bahkan setelah beliau menjadi presiden pun, beliau masih bisa tampil memukau dengan pidato-pidatonya. Kemahiran beliau inilah yang membuat kagum beberapa negara di dunia, bukan hanya Asia saja tapi juga negara nomor satu, Amerika dan PBB pun juga sempat kewalahan ketika berhadapan dengan orasinya Bung Karno.
Bung Karno tampil memukau dengan baju kebesaran berwarna putih. Beliau tampil dengan disertai kopiah dan kacamata baca khasnya. Beliau tidak pernah mempedulikan protokoler Sidang Umum.
Sudah menjadi kebiasaan tiap kepala negara tampil sendiri saja, tapi kebiasaan itu tidak berlaku untuk Soekarno. Untuk pertama kalinya. beliau tampil memukau dengan mengajak ajudannya, Letkol (CPM) M. Sabur. Lima tahun berikutnya, mulai tanggal 1 Januari 1965, secara resmi Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB. Bung Karno tidak setuju ketika Malaysia yang merupakan antek kolonialisme Inggris, dijadikan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Setelah mendengar pernyataan dari Bung Karno tersebut, salah seorang Sekjen PBB yang bernama U Thanh menangis sedih. U Thanh tidak pernah menyangka bahwa Bung Karno akan kecewa dan marah seperti itu.
Bung Karno memang terkenal sebagai seorang presiden yang sering kecewa terhadap cara kerja DK-PBB. Hingga saat ini pun, kita bisa melihat bahwa kewenangan DK-PBB yang terlalu luas tersebut terlihat sangat kontroversial. Misalnya, ketika Amerika Serikat, Inggris dan Perancis bersama dengan Sekjen PBB Koffi Annan, memberikan hukuman yang tidak berperikemanusiaan kepada Irak. Sebenarnya, Bung Karno memang sudah lama sekali tidak menyukai struktur PBB yang didominasi oleh negara-negara barat. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno selalu mengoreksi setiap sikap PBB yang dirasa menyimpang dari tujuan awal dibentuknya PBB tersebut. Tidak hanya itu saja, Bung Karno juga berusaha untuk terus memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat.
“Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina,” kata Bung Karno. Pola pikir kreatif Bung Karno saat itu memang benar.
Pada waktu itu, Bung Karno memprediksikan bahwa suatu saat nanti Cina akan tumbuh menjadi negara maju yang juga berpengaruh dalam perkembangan dunia. Sekarang kita lihat saja, prediksi Bung Karno tersebut memang benar adanya. Para pakar ekonomi bahkan mematok, beberapa dekade lagi, Cina akan memimpin dunia.
Gebrakkan Bung Karno yang lainnya juga bisa kita lihat dalam pidato beliau yang berjudul To Build the World Anew. Dalam pidatonya tersebut, Bung Karno mengatakan “Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang,” ujar Sang Putra Fajar.
Salah satu ciri khas dari Bung Karno adalah bahwa di mana pun di dunia, Bung Karno tidak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Itulah yang membuat orang berpikir bahwa Bung Karno adalah pelopor perjuangan Dunia ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok.
Selain tegas dalam berbicara, Bung Karno juga identik dengan sikapnya keras dan disiplin. Tahukah Anda bahwa, Bung Karno pernah memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956.
Read full post »

Rabu, 10 Oktober 2012

Kisah Cinta Bung Karno dengan Nona Manado

2 komentar


Menjadi istri Bung Karno merupakan suratan nasib dan kehendak Tuhan. Begitulah Yurike mengawali kisahnya. Ia mengaku, hal itu sama sekali bukan kemauannya sejak awal, juga bukan jenis impian murid SMA yang pada waktu itu masih senang bermain karet gelang. Lagi pula, sejak awal mengenal Bung Karno, Yurike yang bukan siapa-siapa itu merasa sangat tidak pantas menerjemahkan isyarat yang ditampakkan Bung Karno sejak awal sebagai rasa cinta seorang lelaki kepada seorang perempuan. Perjalanan nasib pula yang membuat Yurike harus melupakan impiannya menjadi pramugari.

Berawal dari kedatangan seorang bintang film bernama Dahlia ke sekolahnya pada awal 1963. Rupanya, sang bintang film itu sudah lama mengamati dan mengincar Yurike untuk dijadikan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kelompok remaja berjumlah 50 pasang yang tampil mengenakan pakaian adat Indonesia pada acara-acara kepresidenan.

Babak baru dalam kehidupannya makin jelas terasa setelah benar-benar masuk dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu. Setelah mendapat bimbingan dan pengarahan secukupnya, ia pun resmi menjadi anggota. Pertama kali terjun dalam kelompok itu pada sebuah acara kepresidenan yang digelar di Istora (Istana Olahraga) Bung Karno. "Aku yang merupakan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika termuda tampil dengan kebaya Jawa," tulis dia mengenang peristiwa itu.

Kejutan berikutnya berlangsung ketika pertama kali tampil itu. Yurike mengaku sangat canggung karena ini merupakan pengalaman baru. Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya pada saat Bung Karno justru berhenti tepat di hadapannya ketika melewati Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa diduga, sang presiden malah menyapa dan menyempatkan diri berdialog singkat dengannya.

"Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih dari sekilas. Barangkali karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, (Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." Yurike menjawab semua pertanyaan singkat presiden dengan perasaan campur aduk: bingung, malu, dan bangga. Apalagi, Bung Karno sempat terkecoh oleh posturnya yang bongsor, sehingga menyangka Yurike yang masih duduk di bangku SMP itu seorang mahasiswi.

Dalam perkenalan singkat itu juga, sebelum berlalu, Bung Karno mengatakan kepadanya sebaiknya tidak memakai nama dengan akhiran "ke" atau "ce". "Pakai Yuri saja. Nama dengan embel-embel 'ke' atau 'ce' itu kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian nasional kita." Yurike pun hanya mengangguk mengiyakan.

Yurike tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya sejak tatapan pertama dengan Bung Karno itu. "Matanya yang jernih dan terang itu sepertinya hinggap ke pusat mataku dan sampai kapan pun tak bisa kulukiskan dengan jelas. Bicaranya mantap, wajahnya tampan, dan makin tampak gagah dengan jas cokelat tua yang dipenuhi atribut resmi di kedua pundak dan dada kirinya. Secara kebetulan pula, warna cokelat tua memang warna favoritku," tulis dia.

Seiring dengan keterlibatannya yang makin intens dalam kegiatan Barisan Bhinneka Tunggal Ika, makin sering pula ia bertemu dengan Bung Karno. Yurike mengungkapkan beragam perhatian khusus yang diberikan Bung Besar itu kepada dirinya. Bermula dari sekadar menyuruh duduk di dekatnya ketika ada acara resmi di istana, juga dengan mengambilkan kue tradisional dari meja.

Untuk itu, Yurike menulis kenangannya. "Perhatian Presiden Soekarno kepadaku memang terasa agak khusus. Di antara puluhan gadis yang tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, menurut pengamatanku, jarang sekali yang menerima perlakuan demikian. Aku tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan berlanjut menjadi hubungan yang lebih serius."

Diantar Pulang Bung Karno
Suatu ketika di Istana Bogor, setelah acara resmi usai, Yurike bersantai seperti biasa ia lakukan: mengobrol dengan para pengawal. Tiba-tiba Bung Karno berteriak-teriak memanggil namanya. Pada saat itu, Presiden Soekarno sedang menikmati makan malam satu meja dengan tamu-tamunya. Ia diminta duduk di sebuah kursi yang tampak sengaja dikosongkan persis di sebelah RI-1 itu.

Pada saat yang lain, ia didatangi kepala pool kendaraan istana yang menyampaikan perintah Bung Karno kepadanya. Yurike disuruh memakai salah satu mobil istana untuk antar-jemput setiap kali mengikuti agenda Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Yurike tampaknya ingat betul momen itu. "Tawaran menggunakan mobil istana tersebut disampaikan beberapa hari menjelang peristiwa fenomenal dalam dunia olahraga: Games of the New Emerging Forces (Ganefo) I yang upacara pembukaannya dilakukan pada 1 November 1963 di Stadion Utama Gelora Bung Karno," tulis dia.

Malah peristiwa berikutnya pada masa itu makin di luar dugaan Yurike. Keistimewaan yang didapatkannya terus diikuti dengan keistimewaan lain yang lebih besar. Pada saat pembukaan Ganefo itu, petugas protokol meminta Yurike menjadi penjemput presiden ketika turun dari mobil kepresidenan. Ini jelas menyimpang dari kebiasaan acara protokoler yang umum disaksikannya pada masa itu.

Di lain pihak, peristiwa itu memberi bekas sangat dalam pada dirinya. "Dan, mata kami bertemu. Kurasa, hati kami juga bertemu. Kutangkap kemilau yang seolah menyimpan magnet tersebut. Sementara, tanpa sadar, aku melempar senyum lewat mataku. Biarpun hal itu cuma hadir selintasan, peristiwa yang amat menggetarkan itu lama sekali berlabuh teduh di lembah kenangan."

Isyarat perhatian khusus dan mendalam Bung Karno kian kentara pada masa-masa selanjutnya. Sampai suatu ketika, di tengah acara ramah-tamah presiden dengan pengurus Front Nasional di Istana Merdeka, ajudan Bung Karno meminta dia tidak pulang dulu usai acara. "Soalnya, Bapak yang mau mengantarkan pulang," katanya.

Percaya atau tidak percaya, ternyata begitulah adanya. Yurike duduk bersebelahan dengan Bung Karno di jok belakang sedan Lincoln itu. Perasaan kikuk menyelimuti dirinya selama perjalanan pulang. "Jok besar itu lebar sekali. Kurasa, untuk empat orang pun masih lega. Terbelenggu oleh sikap segan yang demikian besar, juga rasa malu yang sungguh tak teratasi, dudukku seolah menyatu dengan pintu."

Penampilan Bung Karno pada saat mengantarkannya pulang malam hari sekitar pukul 11 itu pun tidak biasa. Bercelana biru tua, kemeja lengan pendek biru muda, bersandal kulit hitam, dan tanpa peci. "Kepala yang biasa berpeci itu agak mengubah sedikit raut wajahnya. Dahinya tampak lebar sekali dan seolah menyambung dengan bagian tengah kepalanya yang botak."

Tanpa sungkan-sungkan pula, Yurike menuturkan bahwa penampilan yang lain dari biasanya itu sempat membuat ayah-ibunya terkecoh. Mereka menyangka, yang datang mengantar hanyalah kepala rumah tangga istana. Malah ayahnya sempat bersikap sinis dan agak kurang sopan ketika menyambut sang pengantar. Setelah tahu yang datang Bung Karno, suasana pun berubah sama sekali.

Bung Karno Menyatakan Cinta
Pada hari-hari berikutnya, seperti bisa ditebak, hubungannya dengan Bung Karno makin dekat. Sang presiden, dalam sebuah perjalanan diam-diam keliling kota pada malam hari, meminta Yurike memanggilnya "Mas", bukan "Pak". Kembali beragam perasaan berkecamuk dalam dirinya. Apalagi, dia sendiri punya pacar: Wisnu namanya.

"Sudah terbalikkah bumi ini? Sudah sedemikian kacaukah pendengaranku? Sudah tak berlakukah norma atau etika kepantasan yang menempatkan sikap hormat sebagai keharusan? Mustahil presiden yang usianya di atas ayahku minta dipanggil 'Mas' oleh seorang gadis SMA. Bagaiamanapun beraninya aku, lidahku pasti mendadak beku sebelum sepotong kata itu keluar dari tenggorokan."

Perjalanan diam-diam keliling kota yang diistilahkan Bung Karno sebagai perjalanan incognito itu semakin sering dilakukan. Hingga suatu malam, sebuah kejutan lain yang lebih besar dialami Yurike ketika diajak ke tepi pantai. Dimulai dari pertanyaan Bung Karno soal suami idaman Yurike, obrolan mereka makin menjurus ke soal pribadi. Akhirnya Bung Karno berujar dengan wajah serius: "Apa Adik tidak tahu Mas mencintai Adik?"

"Sepertinya langit runtuh. Kepala semakin berpendar-pendar bagai kejatuhan benda yang berat sekali. Mengingat sikap-sikapnya, pernyataan demikian memang bisa muncul sewaktu-waktu. Tetapi, tak urung, rasa kaget menerkamku," tulis Yurike mengungkapkan perasaannya ketika itu.

Lalu ia melanjutkan, "Tak pernah aku segemetar seperti saat itu. Raut wajah Ibu, Ayah, saudara, guru-guru di sekolah, kerabat, famili, orang-orang yang ada di sekitar Bung Karno, terakhir kekecewaan Wisnu, bergantian menghiasi pelupuk mata. Semula samar-samar, lalu menjadi jelas. Sejujurnya kuakui, rasa banggaku membukit. Pada detik-detik tersebut, aku merasa bukan anak gadis remaja, tapi sepenuhnya menjadi seorang perempuan yang menerima pernyataan cinta seorang lelaki."

Dan saat itu pun tiba, ketika Bung Karno menyatakan niatnya memperistri Yurike. "Kurenungi laut angan-angan sepuasnya. Pikiran terbang bebas sebebas-bebasnya, jauh meninggalkan apa yang selama ini tampak menakutkan. Gerak kehidupan baru menuju dunia kenyataan rasanya semakin dekat manakala Bung Karno, berselang tidak lama, menyatakan niatnya memperistriku. Bung Karno ingin tahu jawabanku saat itu juga. Tetapi, bagaimana mungkin? Masalah perkawinan tidak bisa kuputuskan sendiri. Aku minta waktu dengan suara tersendat untuk membicarakannya dengan orangtuaku."

Peristiwa Menjelang Pernikahan
Pernyataan Bung Karno soal keinginannya memperistri Yurike berulang di istana. Kejadiannya berlangsung beberapa hari setelah upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Wisma Nusantara, Rabu 1 April 1964. Setelah acara yang diikutinya selesai, seorang ajudan memintanya menunggu di teras belakang istana karena "Bapak" ingin memberi kenang-kenangan.

Ternyata Presiden Soekarno menghadiahi Yurike sebuah kalung dari koleksinya yang berjajar di sebuah ruangan di istana. Malah lelaki itu sendiri yang memilihkannya untuk sang pujaan hati. Ini boleh saja dibaca sebagai lamaran tidak resmi sang presiden.

Lamaran resminya disampaikan Bung Karno kepada orangtua Yurike, beberapa waktu kemudian. Bung Karno rupanya mengatur hal itu sejak awal, karena beliaulah yang minta makan malam bersama dengan keluarga Yurike. "Selesai makan, tanpa disangka-sangka Bung Karno menyampaikan niatnya untuk memperistriku. Persisnya: Bung Karno melamar! Kubaca keterkejutan yang terpeta di wajah orangtuaku. Kurasakan luluh segenap sendi tulangku."

Orangtua Yurike jelas sangat terkejut. Ayahnya, tidak bisa lain, menyampaikan rasa terima kasih karena anaknya mendapat tempat istimewa di hati Bung Karno. Dia pun minta waktu untuk memberi jawaban. "Mohon kami diberi waktu untuk berunding, terutama dengan Yurike sendiri. Sebagai orangtuanya, kami tidak bisa membuat keputusan sepihak karena hal demikian akan kurang baik bagi kehidupannya nanti," demikian sang ayah menanggapi lamaran itu.

Yurike sendiri pada saat itu pun seperti didera kebimbangan berkepanjangan. "Aku hanyalah gadis yang baru dijemput ambang remaja. Di sekolah, aku tidak lebih hanya seorang murid yang masih tidak ingin terlambat datang untuk mengikuti jam pelajaran pertama, masih senang jajan es mambo pada jam istirahat. Lalu tiba-tiba saja seorang lelaki melamarku, dan dia justru seorang presiden yang selalu memiliki daya tarik luar biasa."

Ujungnya, lamaran Bung Karno itu diterima orangtua Yurike. Ini membawa suasana lain. Sejak Bung Karno tahu lamarannya diterima, napas kegembiraan sering terlontar dari kerjap matanya. "Alhamdulillah," serunya pertama kali. "Berkuranglah bebanku selama menunggu jawaban itu. Semoga Tuhan selalu memberkahi langkah kita dan memberi kebahagiaan terhadap kita," ucap Bung Karno.

Seiring dengan itu, perlakuan Bung Karno terhadap Yurike otomatis makin istimewa pula. Bung Karno, misalnya, tidak lagi membahasakan dirinya dengan sebutan "saya", tetapi "aku". Beliau juga tidak pernah luput meminta Yurike memanggil dirinya dengan sebutan "Mas" setiap kali perempuan itu keceplosan menyapa "Pak" atau "Bapak".

Dalam kaitan ini, Yurike juga tak menyembunyikan sedikit pun rasa kagumnya kepada Bung Karno. Ia menilai Bung Besar itu benar-benar seorang kekasih yang arif. Dia tahu persis kapan harus langsung ke titik urusan dan kapan diperlukan diplomasi agar tidak terkesan mendikte atau memaksakan diri.

Selain itu, "Bung Karno pandai menempatkan diriku pada tempat yang semestinya. Bung Karno benar-benar berusaha dengan penuh kesabaran menjadikan aku calon istrinya. Lambat laun, hal itu membawa perubahan amat berarti bagiku. Perasaan kami jadi semakin tidak berjarak. Aku bisa cepat menyesuaikan diri sehingga segala kekakuan yang merintangi sikapku cair dengan sendirinya."

Tapi, di balik hubungan yang makin dekat itu, Yurike harus menelan pil pahit. Suatu ketika, Bung Karno meminta dia berhenti bersekolah. Dan itu sungguh mengejutkan. Tapi, "Memang ini salahku sendiri. Aku mulai berani mengadu kepadanya seputar bisik-bisik yang berkembang di sekolah yang berkembang menjadi aneka komentar yang disampaikan secara terang-terangan."

Walhasil, keputusan yang diambil adalah keluar dari sekolah. Pada waktu itu, Yurike masih duduk di kelas II SMA. Ayahnya datang ke sekolah dan secara khusus bicara empat mata dengan kepala sekolah. Alasan keluar tentulah karena Yurike akan menikah dengan Bung Karno. Lelaki itu juga mewanti-wanti agar sang kepala sekolah merahasiakan hal itu.

Yurike sendiri mengungkapkan kegundahannya atas keputusan tersebut. "Sejak itu, aku kehilangan napas duniaku yang amat kukenali selama bertahun-tahun, bahkan sejak kelas I sekolah rakyat. Di satu sisi, aku bisa bebas sebebas-bebasnya dalam arti sudah tidak terbebani kewajiban, tapi kenyataannya malah terbalik: aku justru terpasung di tengah kebebasan atau terbelenggu di tengah pesona kenikmatan yang diberikan orang lain."

Yurike didera kesepian. Apalagi setelah frekuensi kegiatannya di Barisan Bhinneka Tunggal Ika makin dikurangi. Ia merasa, Bung Karno secara tidak langsung mengatur hal ini. "Kukatakan secara tidak langsung karena Bung Karno tidak pernah menanyakan mengapa aku tidak hadir di antara keanekaragaman pakaian daerah seperti waktu-waktu sebelumnya."

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Yurike yang sudah jenuh dengan hubungan lewat perjalanan incognito malam-malam hari ke pantai di kawasan Tanjung Priok itu makin mendapat kepastian. Pada Kamis 6 Agustus 1964, yang disebutnya hari termanis itu, Bung Karno resmi menikahinya secara Islam.

Ia pun mencatat saat-saat paling istimewa sepanjang hidupnya tersebut. "Sikapku serba-gugup. Waktu terasa merangkak lambat sekali. Detik demi detik, menit demi menit. Kucoba sekuat mungkin mempertenang diri, tapi sia-sia. Kucoba alihkan pikiran ke masalah lain, tapi percuma. Masih terbayang jelas kunjungan calon penghulu kami kemarin malam ke rumah. Maksudnya tidak lain, untuk melatihku agar upacara benar-benar dapat berlangsung khidmat dan lancar."

Tepat pukul 10.00, Bung Karno hadir dengan pengawalan yang jauh dari ketat. Tidak terkesan sama sekali bahwa beliau adalah presiden yang bergelar Panglima Tertinggi ABRI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi. Pakaiannya sederhana sekali. Kemeja biru muda lengan pendek, celana biru tua, sepatu hitam, dan peci hitam ciri khasnya dirasakan Yurike benar-benar mempercerah penampilan lelaki itu. "Acara yang paling penting dalam sejarah hidupku dimulai," tulis dia.

Duka Istri Presiden
Ternyata menjadi istri orang nomor satu di suatu negeri tidak selamanya enak. Kesepian yang menerpa dirinya bukannya berkurang. Makin lama, makin terasa menyesakkan. "Hari demi hari bergulir sesuai dengan kehendak sang waktu. Kadang kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak saling bertemu. Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh oleh arus perpisahan yang menerjang," tulis dia meluapkan perasaan itu.

Selama beberapa waktu, Yurike masih tinggal bersama orangtuanya sampai Bung Karno memberinya sebuah rumah di kawasan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Rumah itu diakui Bung Karno sebagai rumah sitaan kejaksaan milik seorang manipulator yang jadi buronan. Kesepian ternyata kian meradang berada di rumah besar itu. Apalagi, ia tidak bisa bebas keluar-masuk halaman yang dikelilingi pagar tertutup cukup tinggi.

Untuk mengusir rasa sepi, Yurike mengaku kerap melampiaskannya dengan berbagai cara. Salah satunya, menghabiskan waktu bergurau dengan para pengawal. "Dasar masih remaja, aku mengajak para pengawal bermain perang-perangan. Aku dan salah seorang adikku berada dalam satu kelompok, mereka dalam kelompok pihak lawan. Mereka dengan sabar mengikuti kemauanku." Terkadang, ia juga menghabiskan waktu dengan ikut main gaple bersama para pengawal.

Tapi hal yang paling mengagetkan dirasakannya adalah pada saat-saat Bung Karno terbakar api cemburu. Ini dialami Yurike ketika menjalani perawatan selama tiga pekan di Rumah Sakit Husada karena mengalami hamil di luar kandungan. Ia harus menjalani operasi untuk mengangkat janin itu. Ketika masuk rumah sakit hingga beberapa lama dirawat, kebetulan Bung Karno sedang bermuhibah ke luar negeri.

Ceritanya, selama dirawat, ada seorang dokter yang memberi perhatian khusus dan istimewa kepada Yurike. Dokter muda itu kerap menjenguknya sembari membawa buah atau yang lain. Terakhir, dokter muda bernama Arifin itu membawakan televisi dan majalah asing agar Yurike dapat mengusir rasa jemunya. Majalah asing itu juga cukup kontroversial: melaporkan pertemuan mesra Bung Karno dengan bintang seksi asal Italia, Gina Lolobrigida.

Begitu Bung Karno tahu, ia tampak sangat murka. Lucunya lagi, ulah si dokter itu dihubung-hubungkan dengan antek neokolonialisme (nekolim). Dengan suara lantang menggeledek, dia memerintahkan pengawalnya membuang semua itu. Bahkan, sebagai buntut kecemburuannya, Bung Karno konon menyuruh tim khusus memanggil dokter itu ke istana dan memeriksanya.

"Kesimpulan yang kudengar, sejauh tentang statusku sebagai istri Bung Karno, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Dia juga tidak terbukti ditunggangi nekolim --sebagaimana kecurigaan Bung Karno. Alhasil, tidak ada alasan untuk menahannya. Kendati demikian, tugasnya secara mendadak dipindahkan ke rumah sakit lain, hari itu juga."

Saat-saat Terakhir
Langit tidak selamanya cerah. Ada saat-saat gumpalan awan hitam bergulung-gulung, bahkan tanpa celah sinar barang sejengkal. Keadaan bersih juga tak selamanya tergambar di langit karena tiba-tiba bisa keruh, menakutkan, kadangkala diwarnai suara petir yang menggelegar seolah sanggup merobek bumi. Demikian pula cerminan kehidupan Bung Karno.

Suatu hari, Bung Karno datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Pada saat itu, Yurike mestinya merasa senang dan menerima sang suami dengan hati berbunga-bunga. Tapi tidak pada hari itu. Kehadiran tersebut merupakan sebuah kabar buruk. Dia datang naik jip yang dikawal beberapa anggota polisi militer. Wajahnya datar, jauh dari ungkapan kegembiraan.

Itulah yang terjadi beberapa waktu setelah Soeharto dilantik menjadi penjabat presiden, persis pada 12 Maret 1967. Negara membutuhkan istana karena penjabat presiden akan melaksanakan tugas kenegaraannya dari tempat itu. Tidak ada jalan lain, Bung Karno harus angkat kaki dari istana yang telah dihuninya selama bertahun-tahun.

Meredupnya kekuasaan Bung Karno ikut mempengaruhi kehidupan yang dijalani Yurike. Tahun 1968 menjadi tahun yang dianggapnya paling memprihatinkan. Kondisi keuangannya kian tidak menentu. Tambahan lagi, kini tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk menggaji para pembantu yang jumlah totalnya ada 20-an orang.

Efek yang lebih menyesakkan, sudahlah Bung Karno hidup dalam isolasi di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, Yurike pun harus angkat kaki dari rumah di Cipinang Cempedak. Berkali-kali pihak kejaksaan meminta dia mengosongkan bekas rumah pengusaha buronan bernama King Gwan itu, berkali-kali pula ia menolak. Ia baru angkat kaki setelah menerima pesan singkat Bung Karno yang ditulis di atas kertas bungkus rokok. "Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan milik kita."

Yang lebih menyesakkan, Bung Karno bahkan menyarankan agar Yurike mengajukan permintaan cerai. Ini mengguratkan suasana haru yang menyelimutinya pada saat itu. "Aku sedih. Betul-betul sedih. Tidak kubayangkan perkataan itu keluar dari bibir Bung Karno," katanya.

Menurut Bung Karno, situasi politik dalam negeri dan kondisi kesehatannya yang memburuk bisa berefek kurang baik bagi kehidupan Yurike selanjutnya secara lahir-batin. Awalnya ia menolak, dengan menegaskan hanya ingin hidup selamanya dengan Bung Karno. "Saya tidak minta apa-apa lagi. Mata Bung Karno berkaca-kaca. Hatiku pun menangis sejadinya," tulis dia.

Akhirnya, Yurike memang bercerai dari Bung Karno secara baik-baik. Peristiwa yang sungguh mengharukan karena mereka masih sama-sama saling mencintai. Sebuah perpisahan yang justru terjadi ketika mereka tengah dekat dan sangat rapat.

Tapi, di atas segala kepedihan itu, yang paling menyesakkan tentulah ketika ia mendengar kabar wafatnya "sang penyambung lidah rakyat Indonesia" itu pada 21 Juni 1970. "Kata orang, aku tidak sekadar meratap, tetapi histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil namanya hingga suaraku tak terdengar lagi...."
Read full post »
 

Copyright © Hidup adalah Perjuangan Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger